Rabu, 17 Februari 2021

Perbedaan Stratifikasi Sosial dan Diferensiasi Sosial

Perbedaan masyarakat secara vertikal –sebagaimana dikemukakan oleh Nasikun- disebut stratifikasi sosial, sedangkan perbedaan masyarakat secara horizontal disebut diferensiasi sosial. Stratifikasi sosial muncul karena ketimpangan distribusi dan kelangkaan barang berharga yang dibutuhkan masyarakat, seperti uang, kekuasaan, pendidikan, keterampilan, dan semacamnya. Sementara itu, diferensiasi sosial muncul karena pembagian kerja, perbedaan agama, ras (pengelompokan individu atas dasar ciri fisik), etnis (pengelompokan individu atas dasar ciri persamaan kebudayaan, seperti bahasa, adat, sejarah, sikap, wilayah), atau perbedaan jenis kelamin.

Di dalam stratifikasi sosial, hubungan antarkelas dalam banyak hal cenderung tidak seimbang –dimana ada pihak tertentu yang lebih dominan dan berkuasa daripada pihak yang lain. Sementara itu, di dalam diferensasiasi sosial yang dipersoalkan bukanlah apakah antara berbagai kelompok (bukan antara berbagai kelas) itu seimbang atau tidak, melainkan yang lebih ditekankan bahwa masyarakat pada dasarnya bersifat pluralistik dan di dalam terdapat sejumlah perbedaan.

Secara normatif, di dalam diferensiasi sosial, memang hak dan kewajiban antara kelompok yang satu dengan yang lain relatif sama di mata hukum. Tetapi, bagaimanapun harus diakui bahwa di dalam kenyataan yang terjadi diferensiasi sosial umumnya selalu tumpang tindih dengan stratifikasi sosial.

Hubungan antarkelompok dalam diferensiasi sosial –entah itu atas dasar perbedaan profesi, ras, etnis, agama, atau jenis kelamin- selalu tidak pernah netral dari dimensi-dimensi stratifikasi sosial. Hak dan kewajiban seorang buruh dan majikan, misalnya, di mata hukum secara normatif sama. Tetapi, karena antara keduanya dari segi kekuasaan dan ekonomi jauh berbeda, maka pola hubungannya pun menjadi tidak seimbang. Seorang majikan, jelas posisinya akan lebih dominan dan berhak memerintah para buruhnya. Sebaliknya, para buruh akan selalu bersikap hormat kepada majikan yang membayarnya. Memperoleh upah yang layak, misalnya, secara hukum adalah hak kaum buruh. Namun, karena para buruh itu menyadari bahwa mencari pekerjaan itu susah dan tidak memiliki alternatif untuk bekerja di sektor lain, maka sering kita temui banyak kaum buruh relatif bersikap pasrah begitu saja –kendati diberi upah di bawah KUM (Kententuan Upah Minimum).

Jadi, antara stratifikasi social dan diferensiasi social tidak bisa dipisahkan. Keduanya, berjalan beriringan, saling tumpang tindih.

Sumber:
Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto. 2015. SOSIOLOGI: TEKS PENGANTAR DAN TERAPAN. Jakarta: Prenadamedia Group. (hal:194-195)