Perbedaan masyarakat secara vertikal –sebagaimana dikemukakan oleh Nasikun- disebut stratifikasi sosial, sedangkan perbedaan masyarakat secara horizontal disebut diferensiasi sosial. Stratifikasi sosial muncul karena ketimpangan distribusi dan kelangkaan barang berharga yang dibutuhkan masyarakat, seperti uang, kekuasaan, pendidikan, keterampilan, dan semacamnya. Sementara itu, diferensiasi sosial muncul karena pembagian kerja, perbedaan agama, ras (pengelompokan individu atas dasar ciri fisik), etnis (pengelompokan individu atas dasar ciri persamaan kebudayaan, seperti bahasa, adat, sejarah, sikap, wilayah), atau perbedaan jenis kelamin.
Di dalam stratifikasi sosial,
hubungan antarkelas dalam banyak hal cenderung tidak seimbang –dimana ada pihak
tertentu yang lebih dominan dan berkuasa daripada pihak yang lain. Sementara itu,
di dalam diferensasiasi sosial yang dipersoalkan bukanlah apakah antara
berbagai kelompok (bukan antara berbagai kelas) itu seimbang atau tidak,
melainkan yang lebih ditekankan bahwa masyarakat pada dasarnya bersifat pluralistik
dan di dalam terdapat sejumlah perbedaan.
Secara normatif, di dalam
diferensiasi sosial, memang hak dan kewajiban antara kelompok yang satu dengan
yang lain relatif sama di mata hukum. Tetapi, bagaimanapun harus diakui bahwa
di dalam kenyataan yang terjadi diferensiasi sosial umumnya selalu tumpang
tindih dengan stratifikasi sosial.
Hubungan antarkelompok dalam
diferensiasi sosial –entah itu atas dasar perbedaan profesi, ras, etnis, agama,
atau jenis kelamin- selalu tidak pernah netral dari dimensi-dimensi
stratifikasi sosial. Hak dan kewajiban seorang buruh dan majikan, misalnya, di
mata hukum secara normatif sama. Tetapi, karena antara keduanya dari segi
kekuasaan dan ekonomi jauh berbeda, maka pola hubungannya pun menjadi tidak
seimbang. Seorang majikan, jelas posisinya akan lebih dominan dan berhak
memerintah para buruhnya. Sebaliknya, para buruh akan selalu bersikap hormat
kepada majikan yang membayarnya. Memperoleh upah yang layak, misalnya, secara hukum
adalah hak kaum buruh. Namun, karena para buruh itu menyadari bahwa mencari
pekerjaan itu susah dan tidak memiliki alternatif untuk bekerja di sektor lain,
maka sering kita temui banyak kaum buruh relatif bersikap pasrah begitu saja –kendati
diberi upah di bawah KUM (Kententuan Upah Minimum).
Jadi,
antara stratifikasi social dan diferensiasi social tidak bisa dipisahkan. Keduanya,
berjalan beriringan, saling tumpang tindih.
Sumber:
Narwoko,
J. Dwi dan Bagong Suyanto. 2015. SOSIOLOGI: TEKS PENGANTAR DAN TERAPAN. Jakarta:
Prenadamedia Group. (hal:194-195)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar