Kamis, 03 Desember 2020

Keluarga Sebagai Agen Sosialisasi Kesetaraan Gender

 

Dokumen pribadi: seorang laki-laki (suami) sedang menjemur pakaian

Keluarga terbentuk karena adanya hubungan pernikahan antara laki-laki dan perempuan. Memutuskan untuk menikah adalah suatu pilihan yang harus dipertimbangkan secara seksama, sebab menyangkut kehidupan kedepannya kelak. Selain itu, menikah juga melibatkan banyak pihak. Tidak hanya kedua mempelai saja.

Sepakat membentuk sebuah keluarga merupakan langkah besar bagi setiap individu, sebab akan menapaki jenjang kehidupan yang lebih “riil” dari sebelumnya.

Langkah besar, sebab masing-masing individu membawa budaya yang telah dipelajari dan dijadikan indentitas diri selama bertahun tahun.

Sebenarnya, tidak mudah memadukan yang terakhri ini. Apalagi ditambah pemahaman keliru tentang keyakinan-keyakinan tertentu. Jika masing-masing pihak tidak mau membuka diri tentang budaya dan keyakinan, maka keluarga yang baru saja dimulai akan berhadapan dengan badai yang luar biasa. Badai akan semakin besar jika masing masing keluarga sama sama “ngotot” dengan kebenaran yang telah diyakininya.

Untuk meminimalisir hal tersebut, maka perlu adanya komunikasi diantara kedua belah pihak. Dengan komunikasi dan saling terbuka diharapkan aka nada saling memahami sudut pandang kedua belah pihak.

Jika sudah saling memahami, maka segala yang dilakukan tidak akan ada saling curiga, apalagi penindasan atau kekerasan dari kedua belah pihak, atau bahkan dalam penerapan peran gender dalam berbagai aktivitas keluarga.

Untuk meminimalisir kekerasan berbasis gender, selain komunikasi, terdapat hal lain yang tak kalah pentingnya yaitu praktik atau penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Menerapkan kesetaraan gender dalam keseharian sangatlah penting, sebab kecenderungan manusia akan lebih cepat belajar pada contoh nyata daripada hanya sekadar teori atau penyuluhan.

Penerapan kesetaraan gender dalam keluarga, dapat dimulai dengan pembagian tugas “melanggar norma yang selama ini dijalankan oleh masyarakat” bagi anggota keluarga. Misalnya, seorang suami mencuci pakaian sedangkan ibu memasak makanan untuk anggota keluarga lainnya. Kakak perempuan membersihkan perabot rumah, sedang adik laki-laki menyapu lantai.

Strategi pembelajaran gender hendaknya dimulai sejak dini. Dengan Si Anak mengenal berbagai hal tentang apa saja yang boleh dan tidak boleh dikerjakan oleh seseorang, maka ia akan terbiasa dan bahkan dapat beradaptasi dengan mudah di masyarakat nantinya.

Dokumen pribadi: seorang anak laki-laki sedang menyapu lantai

Untuk  menghindari kebosanan para anggota keluarga, maka berbagai tugas tersebut dapat dilakukan berjangka waktu.  Artinya, penerapan tugas untuk masing-masing anggota keluarga dapat diganti setiap hari atau setiap dua hari sehari.

Selain itu, dapat juga diterapkan dengan sistem acak sesuai kebutuhan. Maksudnya adalah jenis pekerjaan apa yang belum dikerjakan oleh anggota keluarga, maka anggota keluarga yang lain dapat mengerjakannya.

Dengan menerapkan kebiasaan tersebut, maka bagi Si Pelaku (anggota keluarga) tidak akan merasa melanggar norma masyarakat. Bahkan dapat menjadi contoh dan sekaligus membuka pandangan baru bagi masyarakat sekitar. Dengan semakin terbukanya pandangan masyarakat perihal kesetaraan gender, diharapkan masyarakat luas mampu memilah dan memilih pekerjaan mana yang dapat dikerjakan oleh siapa.

Dengan demikian, maka dapat dilihat bahwa peran keluarga sangat penting bagi terciptanya persamaan gender di lingkup keluarga, bahkan dalam lingkup masyarakat yang lebih luas. Jadi dengan menerapkan persamaan gender sejak dini (dalam keluarga) diharapkan kekerasan berbasis gender diberbagai lini kehidupan dapat dihilangkan.

BERSAMA KITA LAWAN KEKERASAN BERBASIS GENDER,

UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK.

BERSAMA KITA KUAT!!!

BERSAMA PASTI BISA!!!

 

---Semoga Bermanfaat---

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar