
Bisnis.com, JAKARTA- Kasus dugaan permufakatan jahat
terkait ekspor sawit mentah yang melibatkan pejabat Kementerian Perdagangan,
dan tiga perwakilan perusahaan minyak goreng berawal dari meroketnya harga CPO
global. Merespon hal tersebut, pemerintah menerbitkan kebijakan Domestic Market
Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO). Sepasang kebijakan ini
bertujuan memberikan jaminan stok bahan baku minyak goreng di dalam negeri,
sehingga harga minyak goreng lebih terjangkau oleh masyarakat luas. Pasalnya,
jika pemerintah tidak memastikan kontrol harga dan volume, fluktuasi harga CPO
global akan membuat kisruh pasar domestik. Kebijakan tersebut diterbitkan pada
19 Januari 2022 yang ditetapkan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dan berlaku
mulai 27 Januari. Namun, respon pemerintah inipun malah membuat kekacauan
pasokan komoditas minyak goreng, sejak saat itu produk tersebut langka dari
pasaran.
Para pengusaha diduga tetap mencari celah agar
bisa mengekspor tanpa mengindahkan ketentuan wajib pasok dan wajib harga CPO.
Pada akhirnya, regulasi DMO dan DPO tersebut yang kemudian berbuntut penetapan
tersanga Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan IWW
oleh Kejagung. Kemudian tiga orang lainnya yang merupakan petinggi
produsen/eksportir minyak sawit, yakni MPT selaku Komisaris PT Wilmar Nabati
Indonesia, SM selaku Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group (PHG),
dan PTS selaku General Manager di Bagian General Affairs PT Musim Mas.
PELAKSANAAN DMO merupakan batas wajib pasok yang
mengharuskan produsen minyak sawit untuk memenuhi stok dalam negeri sesuai
ketentuan. Dengan kenaikan DMO dari 20 persen menjadi 30 persen, artinya
produsen CPO wajib memasok 30 persen produksinya untuk kebutuhan dalam negeri.
Menurut data Kemendag, setoran DMO minyak sawit
per 14 Februari sampai 8 Maret 2022 adalah 573.890 ton. Sementara itu, yang
sudah didistribusikan adalah 415.787 ton atau 72,4 persen dari total DMO.
Dengan DMO sebesar 20 persen, pasokan bahan baku untuk minyak goreng sebenarnya
sudah sangat mencukupi. Namun kenaikan 30 persen ini dapat lebih mengamankan
pasokan. Sedangkan DPO merupakan harga penjualan minyak sawit dalam negeri yang
sudah diatur dalam Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia nomor 129
tahun 2022. Disebutkan jika harga minyak sawit adalah Rp9.300 per kg dan sudah
termasuk nilai PPN. Adanya keputusan ini dilakukan agar produsen minyak sawit
mampu menjual produknya ke produsen minyak goreng seharga angka tersebut.
Sehingga, nantinya produsen bisa menjual minyak kepada masyarakat dengan harga
Rp14 ribu per liter.
Namun, pada Kamis, 17 Maret 2022, pemerintah
mencabut ketentuan DMO dan DPO bagi minyak sawit. Sebagai gantinya, pemerintah
menaikkan tarif pungutan ekspor CPO dan produk turunannya. Diketahui, harga
harga batas atas semula CPO dan produk turunannya adalah 1.000 dolar AS per
ton. Kini, harganya menjadi 1.500 dolar AS per ton. Sementara itu, batas atas
pungutan ekspor dan bea keluar CPO naik ke angka 675 dolar AS per ton, dari
harga 375 dolar AS per ton. Pada Selasa, 19 April 2022, Jaksa Agung RI ST
Burhanuddin mengumumkan bahwa Tim Penyidik Direktorat Penyidikan Jaksa Agung
Muda bidang Tindak Pidana Khusus telah menetapkan 4 orang tersangka Perkara
Dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Pemberian Fasilitas Ekspor Crude Palm Oil
(CPO/ minyak sawit mentah) dan Turunannya pada bulan Januari 2021 sampai dengan
Maret 2022. Burhanuddin menjelaskan, berdasarkan hasil pemeriksaan, mulai
penyelidikan dan ditingkatkan penyidikan lalu ditemukan alat bukti. Dimana ada
beberapa perusahaan ekspor dengan cara melawan hukum dan dari alat bukti
ditemukan bahwa ada kerja sama dilakukan oleh salah satu pejabat negara di
Kemendag. "Atas perbuatan tersebut diindikasikan dapat menimbulkan
kerugian keuangan negara atau perekonomian negara," katanya. Dia
mengungkapkan, Kejaksaan melakukan pemeriksaan setelah terjadinya kelangkaan
minyak goreng, lalu dilakukan penelitian atas kebijakan pemerintah. "Bahwa
awalnya sejak akhir tahun 2021 terjadi kelangkaan dan kenaikan harga minyak
goreng di pasaran, Kemendag mengambil kebijakan DMO (domestic market
obligation) serta DPO (domestic price obligation) bagi perusahaan yang ingin
melaksanakan ekspor CPO dan produk turunannya," kata Burhanuddin dalam
jumpa pers, Selasa (19/4/2022). Pemerintah, ujarnya, juga menetapkan harga
eceran tertinggi (HET) migor. Namun dalam pelaksanaannya eksportir tidak
memenuhi DPO namun tetap mendapatkan persetujuan ekspor dari pemerintah.
Akhirnya dilakukan penyelidikan atas fasilitas ekspor CPO dan turunannya pada
bulan Januari 2021 hingga Maret 2022 dan tingkatkan ke tahap penyidikan.
"Berdasarkan hasil pemeriksaan di penyidikan, penyidik telah mengumpulkan
bukti-bukti yang terdiri dari keterangan 19 orang saksi, alat bukti surat dan
alat bukti elektronik, keterangan ahli, dan barang bukti berupa 596
dokumen," ujar Burhanuddin. Dengan telah ditemukannya alat bukti cukup,
yaitu minimal 2 alat bukti, sebagaimana dimaksud dalam pasal 184 ayat 1 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, maka pada hari ini, Selasa, 19 April 2022,
Jaksa Penyidik telah menetapkan tersangka perbuatan melawan hukum. Yaitu adanya
permufakatan antara pemohon dan pemberi izin untuk fasilitas persetujuan
ekspor. "Kedua, dikeluarkannya persetujuan ekspor kepada eksportir yang
seharusnya ditolak karena tidak memenuhi syarat. Yaitu, telah mendistribusikan
CPO dan RBD Olein dengan harga tidak sesuai harga penjualan dalam negeri (DPO).
Juga, tidak mendistribusikan 20 persen dari ekspor CPO dan RBD Olein ke pasar
dalam negeri sesuai ketentuan DMO," tuturnya.
sumber: https://ekonomi.bisnis.com/read/20220421/12/1525490/di-balik-kebijakan-dmo-dan-dpo-awal-mula-kasus-dugaan-kongkalikong-ekspor-minyak-sawit