Di Subang, Jawa Barat, ada kampung yang sebagian warganya menjalankan praktik prostitusi. Para pekerja seks menjajakan diri di rumah-rumah warga, bahkan ada yang menjual jasa di rumah sendiri. Bukan hanya perempuan, pelakunya juga para pemuda yang melayani pelanggan homoseksual.
Mereka yang dikenal dengan sebutan ‘bebek’ itu menunggu pelanggan yang datang ke rumah. Tawar menawar yang dilakukan juga diketahui oleh orang tua, bahkan ada orang tua yang sengaja menjual anaknya demi mendapatkan uang.
Selain ‘bebek’ yang berjualan di rumah sendiri, ada juga ‘bebek’ yang diorganisir oleh muncikari, dan memberikan jasanya di rumah si muncikari.
“Bapak aku tahu pas aku dua tiga bulananlah (jadi PSK). Aku sendiri kok yang bilang,” kata Yayah, perempuan yang sudah 3 tahun menjadi PSK.
Menurutnya, semula orang tua melarang. Tapi alasan faktor kebutuhan ekonomi yang harus dipenuhi tak bisa ditawar lagi.
“Bukan berarti Bapak nggak ngelarang, Bapak sebenarnya nggak mau katanya kami nakal, cuma ya gimana itu kan udah kemauan kamu yang penting kamu jaga diri aja, gitu doang,” ucap Yayah saat ditemui kumparan di salah satu rumah warga di Subang, Kamis (14/8).
Selain karena ekonomi, mereka membuka jasa prostitusi di rumah karena faktor keamanan. Hal itu diungkapkan oleh Program Manager IMS HIV/AIDS Dinas Kesehatan Kabupaten Subang, Suwata, yang bertugas memberikan penyuluhan kepada warga.
“Dia bilang lebih aman di sini daripada di lokalisasi, di hotel bisa saja kena razia,” kata Suwata saat ditemui di kantornya.
Suwata mengungkapkan bila dilihat dari data Dinkes, para pelaku prostitusi memang warga asli Subang. Sedari kecil mereka hidup dalam lingkaran hitam, atau bisa dibilang seperti prostitusi turun temurun yang diwariskan dari para orang tua kepada anaknya.
Akar masalah yang menyebabkan beberapa warga Subang memilih terlibat dalam dunia hitam prostitusi juga beragam. Misalnya faktor ekonomi.
Kondisi ekonomi yang lemah membuat mereka memilih jalur instan sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) untuk lepas dari jerat kemiskinan. Faktor pendukung lainnya adalah kualitas pendidikan masyarakat yang masih rendah.
“Kebanyakan dari mereka yang sekarang berada di bahasa saya, 'home industry' itu karena memang dari sisi latar belakang pendidikan juga cukup minim, kemudian juga latar belakang ekonomi masih di bawah sehingga sepertinya mereka tidak punya pilihan lain,” jelas Suwata
Terlebih lagi, realitas yang ada menunjukkan upah dengan menjadi PSK semalam kadang kala bisa menutup UMR Kabupaten Subang sebulan. Misalnya saja berdasarkan pengakuan Yayah, dia bisa melayani 2 hingga 3 pelanggan dalam sehari dengan bayaran Rp 500 ribu. Bila dikalikan 30 hari maka total uang yang diterima bisa mencapai 15 juta rupiah. Angka itu jauh lebih tinggi daripada kerja pabrik yang digaji bulanan tidak sampai Rp 2 juta.
Bukan dianggap masalah
Prostitusi di Subang yang terkesan kadung dibiarkan ini nyatanya bukan dianggap sebagai masalah berarti. Apa yang dilakukan bukanlah masalah sosial apalagi masalah moral, semua orang menerima dan menganggapnya sebagai hal yang lumrah.
“Kalau saya bilang budaya bukan budaya ya, tapi sudah menjadi hal yang lumrah. Kemudian masyarakat sepertinya menerima karena memang kalau berdasarkan informasi yang kami dapat dari tokoh yang ada di sana bahwa perilaku prostitusi rumahan di sana sudah berlangsung cukup lama,” jelas Suwata.
Apalagi, dewasa kini kebutuhan masyarakat semakin meningkat, semisal komunikasi dan transportasi. Butuh modal yang tak sedikit untuk memenuhi semua kebutuhan itu.
“Tapi itu tadi terbiasa mendapat uang dengan mudah akhirnya menjadi suatu gaya hidup yang itu mereka berlanjut sampai hari ini,” ucap Suwata.
Ancaman HIV
Terus hidup dalam aktivitas “kotor” nyata membawa malapetaka bernama HIV. Sekitar 1.766 kasus HIV terjadi di Subang hingga bulan Juni 2018 kemarin. Dari jumlah tersebut, 90 persen yang terjangkit berasal dari usia produktif. Hal tersebut mau tidak mau menjadikan Subang sebagai daerah keempat terbesar di Jawa Barat yang terjangkit HIV.
Suwata menjelaskan, hubungan seks bebas memang menjadi pemicu dari merebaknya HIV di Subang. Dalam hal ini, hubungan seks dijabarkan Suwata menjadi tiga.
Pertama hubungan laki-laki dengan perempuan (heteroseks), kemudian laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan (homoseksual atau lesbian), atau biseks, bisa ke laki-laki dan perempuan.
“(Dari itu) 80 persen hubungan seks heteroseksual kemudian yang kedua homoseks, kemudian ketiga dari ibu (menular) ke anak,” papar Suwata.
Menanggapi permasalahan tersebut, pemerintah Subang tak berdiam diri. Upaya penanggulangan multisektor dilakukan demi mencegah bahaya epidemi.
“Selama ini yang kita lakukan hanya pada wanita pekerja seks, waria, itu sebenarnya sudah tidak ada masalah. Karena ada LSM penjangkau populasi,” ungkap Suwata.
Kendati demikian ada PR besar tetap menanti pemerintah Subang. Masih ada laki-laki pengguna PSK dan para suami yang ditinggal istri bekerja. Mereka adalah pihak yang rentan terjangkit HIV dan terkesan luput dari pengawasan selama ini.
“Jangan menganggap HIV/AIDS adalah milik PSK, waria, karena pengguna jasa yang tidak safety penyakit itu dibawa pulang. Istrinya bisa tertular, anaknya juga bisa tertular karena bagaimana pun yang beraktivitas menularkan adalah laki-laki,” tutup Suwata.
sumber: https://kumparan.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar