Selasa, 23 Oktober 2018

Budaya dan Industri Kreatif Tak Luntur di Era Disrupsi


RADARSEMARANG.ID,SEMARANG – Memasuki era disrupsi -kemajuan teknologi mulai menggantikan manusia- pekerjaan konvensional mulai hilang digantikan oleh mesin ataupun teknologi berbasis internet.
Era ini dikhawatirkan akan menggerus budaya dan menghilangkan identitas bangsa sekaligus industri kreatif yang kini mulai menggeliat. Hal tersebut diungkapkan budayawan Sujiwo Tejo dalam seminar yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial, Unnes.
Sujiwo Tejo mengatakan era disrupsi ini perlu diwaspadai karena dipastikan akan merambah ke sisi budaya, meski tidak akan terjadi dalam waktu yang cepat namun perlu dilakukan kreasi dan inovasi.
“Sebut saja pekerjaan kreatif batik tulis, yang seperti ini tidak akan mudah tergantikan oleh robot ataupun kemajuan teknologi dalam waktu dekat,” katanya dalam seminar ‘Urgensi Nilai Budaya di Era Disrupsi’, di auditorium Unnes kemarin.
Pria yang bernama asli Agus Hadi Sudjiwo ini menjelaskan, kecerdasan buatan manusia, bisa mengalahkan bahkan menggilas pembuatnya. Ia mencontohkan seorang grand master catur asal Rusia belum lama ini dikalahkan oleh komputer.
Menurutnya, budaya adalah sebuah nilai yang berkesinambungan, termasuk industri kreatif yang ada di dalamnya. Dalam ilmu matematika misalnya, menurut Sujiwo Tejo, ilmu tersebut merupakan ilmu melihat sebuah pola yang tidak terpola.
“Contohnya dalam batik, ketidakaturan yang teratur ini bisa dilihat dari garis geometris, untuk itu perlu adanya keseimbangan seni dan ilmu pengetahuan di era disrupsi ini,” tegasnya.
Karakteristik batik, lanjut Sujiwo Tejo dalam motif parang, bisa dimodifikasi agar tidak tertinggal zaman dan bisa disukai berbagai kalangan dengan bentuk lain.
Sama halnya dengan kain lurik yang pada dasarnya punya tiga garis warna yang berbeda pun bisa dimodifikasi sedemikian rupa agar tidak dikalahkan oleh era disrupsi. “Misalnya motif parang, menggunakan aplikasi bentuk saxophone, biola dan lain sebagainya agar bisa tetap lestari dan tetap menjadi identitas bangsa. Terpenting dari modifikasi ini adalah esesnsinya harus ada,” tuturnya.
Sementara itu, pemilik Identix Batik Tulis Indonesia, Irma Susanti menjelaskan industri kreatif yang berkaitan dengan budaya memiliki peluang atau potensi yang cukup besar untuk bertahan di era disrupsi.

Komunitas dan Kearifan Lokal

1. Komunitas
Community (bahasa Inggris), diterjemahkan sebagai masyarakat setempat yang memiliki cakupan wilayah sama. Anggota masyarakat setempat memiliki jalinan interaksi kuat dan persamaan kebudayaan.
Dengan demikian, komunitas merupakan sekelompok orang yang saling peduli satu sama lain. Dalam komunitas terjadi relasi pribadi yang sangat erat antar anggota karena kesamaan atau values.
2. Kearifan Lokal/Local Genius/Local Wisdom
Local Wisdom, secara umum dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang bertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Local Genius, adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajek dalam suatu daerah. Kebenaran tersebut berisi perpaduan antara nilai-nilai yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa dan berbagai nilai sosial yang berkembang.
Ruang Lingkup Kearifan Lokal
1. Pengetahuan Lokal
2. Nilai Lokal
3. Keterampilan Lokal
4. Sumber Daya Alam Lokal
5. Mekanisme Pengambilan Keputusan
6. Solidaritas Kelompok

Senin, 01 Oktober 2018

Kelas XI IPS2

- Buatlah 7 kelompok kerja yang beranggotakan 4-5 siswa (depan dan belakang tempat duduk masing-masing siswa)
- Masing-masing kelompok membahas tentang artikel yang sudah di sediakan di blog
- Satu judul untuk satu kelompok
- Judul artikel, antara lain: (edisi 28 september 2018)
1. Desa pecuk...
2. 5 Desa atau kampung....
3. Pengakuan PSK rumahan di subang...
4. PSK dari Subang jual diri..
5. MUI Banyumas...
6. Praktik prostitusi terbongkar...
7. Polres Tangerang...
- Setelah membaca dan mencermati artikel tersebut jawablah pertanyaan berikut:
1) Apakah berita yang dituliskan pada artikel tersebut termasuk dalam masalah sosial?
2) Menurut kelompok Anda apa yang dimaksud dengan masalah sosial?
- Tulis dan kumpulkan hasil diskusi kelompok Anda pada satu lembar kertas. Berilah nama anggota kelompok Anda dengan jelas

                  >>Selamat Berkarya<<

Jumat, 28 September 2018

Desa Pecuk, Kampung yang Hampir Seluruh Warganya Jadi Pengemis ke Jakarta

INDRAMAYU - Desa Pecuk yang berada di Kecamatan Sindang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat di 2 kilometer dari Pusat Kota Indramayu terbiasa dengan sunyi di kala pagi. Terlebih menjelang hari-hari besar seperti Idul Fitri, Natal hingga Tahun Baru.

Menariknya, masyarakat Desa Pecuk sebagian besar mengadu nasib di Ibu Kota, bukan menjadi pegawai atau buruh, namun mengadu nasib sebagai pengemis.

Sejak 1980, masyarakat di Desa Pecuk mulai memilih menjadi pengemis. Setiap pagi buta mereka pergi ke Ibu Kota dengan menaiki truk yang melewati desa mereka, kemudian mereka pulang minimal seminggu sekali ke kampung halaman.

Tak heran, kampung ini pun terkenal dengan kampung pengemis karena sebagian besar masyarakatnya memilih menjadi pengemis di Jakarta dan daerah lainnya.


Salah seorang warga setempat, Zaenal (60) menceritakan alasan kampungnya dijuluki sebutan itu, karena mayoritas penduduk di Desa Pecuk tergolong masyarakat miskin. Untuk itu, mayoritas masyarakatnya memilih menjadi pengemis .

Ia mengaku sekira 80 peren masyarakat di situ berprofesi menjadi pengemis di Ibu Kota Jakarta, mereka pergi ke Jakarta berbondong-bondong dengan menggunakan truk pengangkut yang biasa membawa mereka.

"Jadi, jangan heran jika di kampung ini sunyi dan sepi, pasalnya masyarakat di sini sebagian besar mengadu nasib di Jakarta," terangnya.

Ia menuturkan, mereka datang biasa sebulan sekali bahkan bisa setahun sekali, menjadi pengemis pun layaknya adat yang harus dilakukan secara turun temurun. Ketika orangtua mereka menjadi pengemis di Jakarta, maka anaknya pun mengikuti jejak orangtuanya.

Namun demikian, lanjut Zaenal, tidak sedikit, mereka yang berhasil. Indikator keberhasilan mereka bisa dilihat dari rumahnya. Jika dulu para warga hanya tinggal di gubuk reot dengan luas 2x3 meter, dari hasil mengemis tersebut, mereka bisa membangun rumah yang layak serta permanen. Bahkan mereka bisa membeli kendaraan pribadi seperti sepeda motor.

Akan tetapi, keasyikan mereka terhadap "dunia mengemis" membuat kesadaran mereka terhadap pendidikan masih rendah. Tak heran memang, mereka lebih memilih membangun rumah yang megah ketimbang menyekolahkan anak mereka hingga ke jenjang yang lebih tinggi.

"Tapi, memang tidak dipungkiri juga, ada sebagian (kecil) masyarakat yang sudah sadar akan pendidikan," ujarnya.

Data Dinas Sosial Kabupaten Indramayu menyebutkan jumlah gelandangan dan pengemis (gepeng) di Kabupaten Indramayu mencapai 3.187 orang, setiap tahunnya mengalami kenaikan sebesar 5 -10 persen. Sebanyak 3.187 gepeng terdiri dari 2.498 gelandangan dan 689 pengemis.

sumber: https://news.okezone.com

5 Desa atau Kampung di Indonesia yang Penduduknya Rata-Rata Adalah Pengemis

Tekanan ekonomi yang kuat kadang membuat sebagian orang berpikir pendek. Alih-alih bekerja giat untuk mendapatkan uang, mereka malah melakukan cara-cara pintas. Entah pergi ke dukun atau yang lebih realistis adalah dengan cara mengemis. Tentang mengemis, sekarang yang macam begini kadang bukan lagi dilakukan karena desakan, tapi sudah jadi profesi.

Ya, sekarang ini hampir jarang banget pengemis yang meminta karena kepepet, melainkan sudah jadi kerjaan sehari-hari. Bahkan nih ternyata di Indonesia ada lho semacam desa atau kampung yang isinya adalah pengemis semua. Entah, ini kepepet massal atau bagaimana.

Lalu, di mana saja desa atau kampung yang dihuni oleh para pengemis tersebut? Simak ulasannya berikut.
1. Desa Pragaan Daya
2. Desa Panyindangan
3. Kampung Pengemis di Pamekasan
4. Desa Grinting
5. Kampung Kebanyakan

Desa ini terletak di Kecamatan Pragaan, Kabupaten Sumenep. Menariknya, warga setempat ternyata memiliki kebiasaan turun-temurun yang terbilang sangat nyeleneh, yakni mengemis. Bahkan, praktik itu diperkirakan sudah dilakukan sejak tahun 1940-an. Kegiatan mengemis itu sendiri dilakukan bukannya tanpa alasan.

Menurut pengakuan warga setempat, lahan di desa mereka sangat tandus dan gersang. Akibatnya, warga tidak bisa menanam apa pun. Untuk bisa menyambung hidup, akhirnya warga sekitar pun memutuskan untuk jadi pengemis di kota-kota besar. Hebatnya lagi, mereka tidak hanya menargetkan daerah perkotaan di Pulau Jawa saja. Banyak juga yang mengemis sampai ke Pulau Kalimantan, Bali dan Batam.
Blok Pecuk berada di Desa Panyindangan, Kecamatan Indramayu, Indramayu, Jawa Barat. Daerah tersebut menjadi salah satu pemasok pengemis terbesar di Indonesia. Karena hampir 70% warganya bekerja sebagai pengemis dan pemulung, daerah tersebut sering dijuluki Kampung Pengemis.

Mereka biasanya merantau ke kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dll. Menurut pengakuan warga sekitar, budaya mengemis sendiri sudah ada sejak 1987. Ketika bulan puasa tiba atau menjelang lebaran, semua warga akan berbondong-bondong pergi ke kota besar untuk mengemis.

Selain di Pragaan, di Madura juga ada satu lagi kampung pengemis yang ada di Kabupaten Pamekasan. Menurut cerita warga sekitar, kegiatan mengemis itu sebetulnya tak serta-merta ada di desa mereka. Sekitar tahun 1960-an, desa tersebut dilanda hama tikus yang menyerang tanaman. Tak tanggung-tanggung, pakaian dan bayi pun ikut digigit oleh tikus. Warga akhirnya terancam kelaparan akibat peristiwa tersebut.

Untuk menyambung hidup, warga sekitar kemudian pergi ke desa lain untuk mengemis singkong atau menukar garam dengan bahan makanan lainnya. Sejak itu tiga dusun di Kabupaten Pamekasan tersebut, yakni Dusun Pelanggaran Desa Branta Tinggi, Dusun Pandan Desa Panglegur dan Dusun Asem Manis Kecamatan Larangan Tokol dikenal sebagai kampung pengemis.

Desa Grinting yang terletak di Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, selama ini dikenal sebagai kampung pengemis. Ini karena warga sekitar diketahui banyak yang bekerja sebagai pengemis di kota-kota besar, seperti Bandung, Jakarta, dan masih banyak lagi.

Saat berkunjung ke desa ini, Kamu mungkin akan kaget karena ada beberapa rumah mewah nan megah, yang ternyata diakui dimiliki oleh mereka yang bekerja sebagai pengemis. Namun, wartawan mengaku cukup kesulitan untuk mengorek informasi dari warga sekitar terkait profesi pengemis tersebut.

Kampung Kebanyakan di Kelurahan Sukawana, Kecamatan Serang, sering dijuluki pula sebagai Kampung Pengemis. Akses untuk menuju kampung ini relatif mudah dan bisa diakses dengan roda dua atau empat. Tercatat ada 2.213 jiwa yang tinggal di kampung tersebut. Dan dari 525 KK yang tercatat, ada 76 KK yang dikatakan berprofesi sebagai pengemis.

Menurut pengakuan warga, tradisi mengemis di kampung mereka sudah dimulai sejak tahun 90-an. Warga yang menggeluti profesi sebagai pengemis di kampung ini biasanya menyasar daerah di luar Serang, seperti misalnya dermaga Pelabuhan Merak Cilegon atau kawasan industri Tangerang Raya.

Inilah alasannya kenapa hari ini masyarakat kebanyakan ogah memberikan sedekah kepada pengemis. Bukan karena apa, tapi ternyata mengemis dijadikan semacam profesi. Bahkan kalau memandang beberapa tempat di atas, ada pengemis yang sampai bisa bangun rumah mewah. Lebih selektif saja ketika memutuskan untuk memberikan sumbangan kepada pengemis.

sumber: https://www.boombastis.com/desa-pengemis-di-indonesia/83186

Pengakuan PSK Rumahan di Subang: Frustrasi Berujung Lembah Prostitusi

Berbicara mengenai prostitusi seolah tak ada habisnya. Tak melulu ditemui di kota-kota besar, aktivitas prostitusi juga banyak terjadi di wilayah pedesaan. 


Sebuah desa di Kabupaten Subang, Jawa Barat, ini misalnya. Sejak puluhan tahun yang lalu, desa yang dikenal sebagai ‘Kampung Cinta’ ini sudah akrab dengan prostitusi. Meski berada jauh dari pusat kota, desa ini bak ‘bunga cantik’ yang mampu memikat banyak kumbang. 

‘Fasilitas’ prostitusi yang ditawarkan di desa itu juga cukup menggiurkan, mulai dari tarif yang murah, perempuan muda nan cantik, hingga para gadis yang rela menjual keperawanan demi uang.

Ironisnya, bisnis hitam ini bukan dilakukan di lokalisasi, tetapi di rumah-rumah warga. Bahkan ada yang membuka usaha di rumah sendiri dengan izin orang tua.

kumparan menelusuri desa tersebut untuk melihat lebih dalam soal keberadaan kegiatan prostitusi rumahan itu. Butuh waktu sekitar 2 jam dari pusat kota Subang untuk sampai ke desa yang dituju.

Saat memasuki desa, hamparan sawah yang luas memanjakan mata. Warga-warga bercengkrama di teras rumah mereka. Hembusan angin dan udara yang terasa begitu sejuk, suasana asli pedesaan.

Bila dilihat sekilas memang tidak terlihat kegiatan prostitusi di sana, yang ada hanya deretan rumah-rumah warga dan warung yang menjual bahan kebutuhan pokok. 

Untuk mengetahui bisnis prostitusi rumahan ini, kumparan bertanya pada sejumlah warga, namun jawaban yang diberikan kurang memuaskan. Mereka sedikit tertutup jika ditanya soal prostitusi. Mungkin karena sempat ada beberapa kali razia yang dilakukan oleh pemerintah setempat.

Menjelang sore hari sekitar pukul 18.00 WIB, kumparan akhirnya berhasil mendapatkan narasumber yang bersedia dimintai keterangannya. Janji sudah disepakati untuk bertemu di sebuah rumah di desa tersebut. Namun sayangnya, perempuan berusia 19 tahun itu tak kunjung datang tanpa alasan yang jelas. 

Penelusuran pun dilanjutkan. Masih di kecamatan yang sama, akhirnya seorang narasumber bersedia diwawancara, perempuan Pekerja Seks Komersial (PSK) berusia 21 tahun. Sebut saja namanya Yayah.

Perempuan bermata sipit itu menceritakan kisahnya menjadi PSK rumahan selama 3 tahun belakangan ini, dan bagaimana kegiatan prostitusi tumbuh subur di desanya. 

Yayah terjun ke dunia hitam saat usianya masih 18 tahun. Kala itu dia belum lama cerai dari suaminya. 

Menurut pengakuan Yayah, suaminya adalah pacarnya yang tega memperkosanya. Setelah peristiwa perkosaan itu, keduanya lalu dinikahkan. Sejak awal menikah, suaminya selalu kasar dan main tangan. Biduk rumah tangganya pun hanya bertahan 6 bulan dan keduanya bercerai. 

Cobaan tak berhenti di situ, kematian ibunda di tahun yang sama, membuat hidup Yayah semakin sulit. 

“Ya biasa main sama teman-teman ditawari begituan (jadi PSK) , karena frustasi ditinggal orang tua, disakiti mantan suami ya akhirnya berani nakal,” kata Yayah membuka percakapan, Kamis (16/8), di sebuah kamar, di rumah warga di Subang. 

Usia yang relatif muda membuat Yayah mudah mendapatkan pelanggan. Dalam sehari ia mengaku bisa menerima 2 hingga 3 pelanggan, meski akhir-akhir ini ia mengaku sudah jarang menjajakan diri. 

Palanggan Yayah bukan hanya berasal dari Subang, tetapi juga dari berbagai daerah baik desa maupun kota. 

“Dari Subang, dari Jakarta, dari Pemanukan, banyak sih dari mana-mana," ungkapnya. 

Untuk menghubungkan para pelanggan, Yayah menyebut ada peran muncikari yang mendapat komisi dari setiap transaksi. Untuk tarif yang dipatok Yayah mulai dari Rp 500 ribu hingga jutaan rupiah. 

“Aku dapat tamu itu ditelepon, katanya sini ada tamu gitu kan aku datang, pas aku datang lalu udah beres si tamu ngasih Rp 500 (ribu), aku ngasi Rp 100 (ribu) sama si muncikari," ungkapnya. 

Praktik Prostitusi di Rumah dan ‘Izin’ Orang Tua 

Tak seperti kegiatan prostitusi biasanya yang terlokalisasi, atau disediakan di tempat hiburan, praktik haram di desa ini dilakukan di rumah-rumah warga. 

Pelanggan yang ingin mencari hiburan akan diantar ke rumah warga oleh seorang ‘pemandu’. Tidak sembarang orang bisa diterima di rumah itu, biasanya antar pemandu dan pemilik rumah sudah saling kenal. 

Setelah berbincang-bincang dan menyampaikan tujuan, si pemilik rumah akan memanggil para ‘bebek’. Di kampung ini para PSK biasa disebut ‘bebek’. 

Bebek-bebek ini ada yang diorganisir oleh muncikari, tetapi ada juga yang ‘mandiri’. Untuk ‘bebek’ mandiri biasanya membuka jasa di rumah sendiri dan atas pengetahuan orang tua mereka. Bahkan ada yang memakai kamar orang tuanya untuk melakukan kegiatan prostitusi. 

Yayah merupakan ‘bebek’ yang dikoordinasi oleh muncikari. Dia akan datang bila mendapat panggilan dan melakukan prostitusi di rumah si muncikari. 

Menurut Yayah, kegiatan prostitusi rumahan di desanya sudah jadi hal biasa dan berlangsung sejak lama. 

"Ya kadang kalau mucikarinya nempati di rumahnya, kadang kalau dianya ngajak ke rumah tempat yang lain ya di rumah yang lain gitu," ujarnya. 

Pekerjaan Yayah sudah diketahui oleh ayahnya. Meski begitu, ayah Yayah tak keberatan anaknya bekerja sebagai PSK. Alasannya lagi-lagi karena faktor ekonomi. Sang ayah hanya berpesan agar Yayah selalu memperhatikan kesehatannya, jangan sampai terjangkit HIV/AIDS. 

“Nggak papa asal bisa jaga diri, jaga kesehatan gitu aja dia (pesan ayah),” katanya. 

Soal pelanggan, Yayah mengaku sudah ribuan lelaki yang dilayani, jumlah pastinya dia tidak ingat. Dia hanya mengkalkulasi jumlah pelanggan harian yang mencapai 2 hingga 3 orang dan dikalikan selama 3 tahun dia menjadi PSK. 

“Ya banyaklah kalau diitungkan aku sudah mulai tahun 2016 sekarang 2018,” katanya. 

Para pelanggannya juga beragam profesi. Tak hanya masyarakat kelas biasa tetapi juga dari kalangan pejabat. Untuk kelas pejabat, Yayah mengaku dapat bayaran hingga jutaan rupiah. 

"Pernah ada polisi aku pernah. Ada tentara bahkan aku nggak papa ya aku cerita, aku sama anggota DPR pernah," katanya sembari tersipu malu.

Maraknya prostitusi berbanding lurus dengan jumlah pengidap HIV/AIDS di sana. Para korban umumnya masih dalam usia produktif hingga anak-anak, yang tertular dari orang tuanya saat dia masih di kandungan. Yayah mengaku pernah menjalani tes dan hasilnya negatif, meski begitu bayang-bayang virus maut itu tetap menghantui hari-harinya. 

“Aku pilih-pilih sama tamu. Aku juga sering konsultasi sama kesehatan pergi ke dokter gitu periksa badan jadi nggak (jorok) aku mah,” kata Yayah menutup obrolan. 

sumber: https://kumparan.com 

PSK di Subang Jual Diri di Rumah Sendiri, Diketahui Keluarga

Di Subang, Jawa Barat, ada kampung yang sebagian warganya menjalankan praktik prostitusi. Para pekerja seks menjajakan diri di rumah-rumah warga, bahkan ada yang menjual jasa di rumah sendiri. Bukan hanya perempuan, pelakunya juga para pemuda yang melayani pelanggan homoseksual.

Mereka yang dikenal dengan sebutan ‘bebek’ itu menunggu pelanggan yang datang ke rumah. Tawar menawar yang dilakukan juga diketahui oleh orang tua, bahkan ada orang tua yang sengaja menjual anaknya demi mendapatkan uang. 

Selain ‘bebek’ yang berjualan di rumah sendiri, ada juga ‘bebek’ yang diorganisir oleh muncikari, dan memberikan jasanya di rumah si muncikari.

“Bapak aku tahu pas aku dua tiga bulananlah (jadi PSK). Aku sendiri kok yang bilang,” kata Yayah, perempuan yang sudah 3 tahun menjadi PSK.

Menurutnya, semula orang tua melarang. Tapi alasan faktor kebutuhan ekonomi yang harus dipenuhi tak bisa ditawar lagi. 

“Bukan berarti Bapak nggak ngelarang, Bapak sebenarnya nggak mau katanya kami nakal, cuma ya gimana itu kan udah kemauan kamu yang penting kamu jaga diri aja, gitu doang,” ucap Yayah saat ditemui kumparan di salah satu rumah warga di Subang, Kamis (14/8).

Selain karena ekonomi, mereka membuka jasa prostitusi di rumah karena faktor keamanan. Hal itu diungkapkan oleh Program Manager IMS HIV/AIDS Dinas Kesehatan Kabupaten Subang, Suwata, yang bertugas memberikan penyuluhan kepada warga.

“Dia bilang lebih aman di sini daripada di lokalisasi, di hotel bisa saja kena razia,” kata Suwata saat ditemui di kantornya.

Suwata mengungkapkan bila dilihat dari data Dinkes, para pelaku prostitusi memang warga asli Subang. Sedari kecil mereka hidup dalam lingkaran hitam, atau bisa dibilang seperti prostitusi turun temurun yang diwariskan dari para orang tua kepada anaknya.

Akar masalah yang menyebabkan beberapa warga Subang memilih terlibat dalam dunia hitam prostitusi juga beragam. Misalnya faktor ekonomi. 

Kondisi ekonomi yang lemah membuat mereka memilih jalur instan sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) untuk lepas dari jerat kemiskinan. Faktor pendukung lainnya adalah kualitas pendidikan masyarakat yang masih rendah. 

“Kebanyakan dari mereka yang sekarang berada di bahasa saya, 'home industry' itu karena memang dari sisi latar belakang pendidikan juga cukup minim, kemudian juga latar belakang ekonomi masih di bawah sehingga sepertinya mereka tidak punya pilihan lain,” jelas Suwata

Terlebih lagi, realitas yang ada menunjukkan upah dengan menjadi PSK semalam kadang kala bisa menutup UMR Kabupaten Subang sebulan. Misalnya saja berdasarkan pengakuan Yayah, dia bisa melayani 2 hingga 3 pelanggan dalam sehari dengan bayaran Rp 500 ribu. Bila dikalikan 30 hari maka total uang yang diterima bisa mencapai 15 juta rupiah. Angka itu jauh lebih tinggi daripada kerja pabrik yang digaji bulanan tidak sampai Rp 2 juta. 

Bukan dianggap masalah
Prostitusi di Subang yang terkesan kadung dibiarkan ini nyatanya bukan dianggap sebagai masalah berarti. Apa yang dilakukan bukanlah masalah sosial apalagi masalah moral, semua orang menerima dan menganggapnya sebagai hal yang lumrah. 

“Kalau saya bilang budaya bukan budaya ya, tapi sudah menjadi hal yang lumrah. Kemudian masyarakat sepertinya menerima karena memang kalau berdasarkan informasi yang kami dapat dari tokoh yang ada di sana bahwa perilaku prostitusi rumahan di sana sudah berlangsung cukup lama,” jelas Suwata. 

Apalagi, dewasa kini kebutuhan masyarakat semakin meningkat, semisal komunikasi dan transportasi. Butuh modal yang tak sedikit untuk memenuhi semua kebutuhan itu.

“Tapi itu tadi terbiasa mendapat uang dengan mudah akhirnya menjadi suatu gaya hidup yang itu mereka berlanjut sampai hari ini,” ucap Suwata. 

Ancaman HIV 
Terus hidup dalam aktivitas “kotor” nyata membawa malapetaka bernama HIV. Sekitar 1.766 kasus HIV terjadi di Subang hingga bulan Juni 2018 kemarin. Dari jumlah tersebut, 90 persen yang terjangkit berasal dari usia produktif. Hal tersebut mau tidak mau menjadikan Subang sebagai daerah keempat terbesar di Jawa Barat yang terjangkit HIV. 

Suwata menjelaskan, hubungan seks bebas memang menjadi pemicu dari merebaknya HIV di Subang. Dalam hal ini, hubungan seks dijabarkan Suwata menjadi tiga. 

Pertama hubungan laki-laki dengan perempuan (heteroseks), kemudian laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan (homoseksual atau lesbian), atau biseks, bisa ke laki-laki dan perempuan. 

“(Dari itu) 80 persen hubungan seks heteroseksual kemudian yang kedua homoseks, kemudian ketiga dari ibu (menular) ke anak,” papar Suwata.

Menanggapi permasalahan tersebut, pemerintah Subang tak berdiam diri. Upaya penanggulangan multisektor dilakukan demi mencegah bahaya epidemi. 

“Selama ini yang kita lakukan hanya pada wanita pekerja seks, waria, itu sebenarnya sudah tidak ada masalah. Karena ada LSM penjangkau populasi,” ungkap Suwata. 

Kendati demikian ada PR besar tetap menanti pemerintah Subang. Masih ada laki-laki pengguna PSK dan para suami yang ditinggal istri bekerja. Mereka adalah pihak yang rentan terjangkit HIV dan terkesan luput dari pengawasan selama ini. 

“Jangan menganggap HIV/AIDS adalah milik PSK, waria, karena pengguna jasa yang tidak safety penyakit itu dibawa pulang. Istrinya bisa tertular, anaknya juga bisa tertular karena bagaimana pun yang beraktivitas menularkan adalah laki-laki,” tutup Suwata. 

sumber: https://kumparan.com