Jumat, 28 September 2018

Desa Pecuk, Kampung yang Hampir Seluruh Warganya Jadi Pengemis ke Jakarta

INDRAMAYU - Desa Pecuk yang berada di Kecamatan Sindang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat di 2 kilometer dari Pusat Kota Indramayu terbiasa dengan sunyi di kala pagi. Terlebih menjelang hari-hari besar seperti Idul Fitri, Natal hingga Tahun Baru.

Menariknya, masyarakat Desa Pecuk sebagian besar mengadu nasib di Ibu Kota, bukan menjadi pegawai atau buruh, namun mengadu nasib sebagai pengemis.

Sejak 1980, masyarakat di Desa Pecuk mulai memilih menjadi pengemis. Setiap pagi buta mereka pergi ke Ibu Kota dengan menaiki truk yang melewati desa mereka, kemudian mereka pulang minimal seminggu sekali ke kampung halaman.

Tak heran, kampung ini pun terkenal dengan kampung pengemis karena sebagian besar masyarakatnya memilih menjadi pengemis di Jakarta dan daerah lainnya.


Salah seorang warga setempat, Zaenal (60) menceritakan alasan kampungnya dijuluki sebutan itu, karena mayoritas penduduk di Desa Pecuk tergolong masyarakat miskin. Untuk itu, mayoritas masyarakatnya memilih menjadi pengemis .

Ia mengaku sekira 80 peren masyarakat di situ berprofesi menjadi pengemis di Ibu Kota Jakarta, mereka pergi ke Jakarta berbondong-bondong dengan menggunakan truk pengangkut yang biasa membawa mereka.

"Jadi, jangan heran jika di kampung ini sunyi dan sepi, pasalnya masyarakat di sini sebagian besar mengadu nasib di Jakarta," terangnya.

Ia menuturkan, mereka datang biasa sebulan sekali bahkan bisa setahun sekali, menjadi pengemis pun layaknya adat yang harus dilakukan secara turun temurun. Ketika orangtua mereka menjadi pengemis di Jakarta, maka anaknya pun mengikuti jejak orangtuanya.

Namun demikian, lanjut Zaenal, tidak sedikit, mereka yang berhasil. Indikator keberhasilan mereka bisa dilihat dari rumahnya. Jika dulu para warga hanya tinggal di gubuk reot dengan luas 2x3 meter, dari hasil mengemis tersebut, mereka bisa membangun rumah yang layak serta permanen. Bahkan mereka bisa membeli kendaraan pribadi seperti sepeda motor.

Akan tetapi, keasyikan mereka terhadap "dunia mengemis" membuat kesadaran mereka terhadap pendidikan masih rendah. Tak heran memang, mereka lebih memilih membangun rumah yang megah ketimbang menyekolahkan anak mereka hingga ke jenjang yang lebih tinggi.

"Tapi, memang tidak dipungkiri juga, ada sebagian (kecil) masyarakat yang sudah sadar akan pendidikan," ujarnya.

Data Dinas Sosial Kabupaten Indramayu menyebutkan jumlah gelandangan dan pengemis (gepeng) di Kabupaten Indramayu mencapai 3.187 orang, setiap tahunnya mengalami kenaikan sebesar 5 -10 persen. Sebanyak 3.187 gepeng terdiri dari 2.498 gelandangan dan 689 pengemis.

sumber: https://news.okezone.com

5 Desa atau Kampung di Indonesia yang Penduduknya Rata-Rata Adalah Pengemis

Tekanan ekonomi yang kuat kadang membuat sebagian orang berpikir pendek. Alih-alih bekerja giat untuk mendapatkan uang, mereka malah melakukan cara-cara pintas. Entah pergi ke dukun atau yang lebih realistis adalah dengan cara mengemis. Tentang mengemis, sekarang yang macam begini kadang bukan lagi dilakukan karena desakan, tapi sudah jadi profesi.

Ya, sekarang ini hampir jarang banget pengemis yang meminta karena kepepet, melainkan sudah jadi kerjaan sehari-hari. Bahkan nih ternyata di Indonesia ada lho semacam desa atau kampung yang isinya adalah pengemis semua. Entah, ini kepepet massal atau bagaimana.

Lalu, di mana saja desa atau kampung yang dihuni oleh para pengemis tersebut? Simak ulasannya berikut.
1. Desa Pragaan Daya
2. Desa Panyindangan
3. Kampung Pengemis di Pamekasan
4. Desa Grinting
5. Kampung Kebanyakan

Desa ini terletak di Kecamatan Pragaan, Kabupaten Sumenep. Menariknya, warga setempat ternyata memiliki kebiasaan turun-temurun yang terbilang sangat nyeleneh, yakni mengemis. Bahkan, praktik itu diperkirakan sudah dilakukan sejak tahun 1940-an. Kegiatan mengemis itu sendiri dilakukan bukannya tanpa alasan.

Menurut pengakuan warga setempat, lahan di desa mereka sangat tandus dan gersang. Akibatnya, warga tidak bisa menanam apa pun. Untuk bisa menyambung hidup, akhirnya warga sekitar pun memutuskan untuk jadi pengemis di kota-kota besar. Hebatnya lagi, mereka tidak hanya menargetkan daerah perkotaan di Pulau Jawa saja. Banyak juga yang mengemis sampai ke Pulau Kalimantan, Bali dan Batam.
Blok Pecuk berada di Desa Panyindangan, Kecamatan Indramayu, Indramayu, Jawa Barat. Daerah tersebut menjadi salah satu pemasok pengemis terbesar di Indonesia. Karena hampir 70% warganya bekerja sebagai pengemis dan pemulung, daerah tersebut sering dijuluki Kampung Pengemis.

Mereka biasanya merantau ke kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dll. Menurut pengakuan warga sekitar, budaya mengemis sendiri sudah ada sejak 1987. Ketika bulan puasa tiba atau menjelang lebaran, semua warga akan berbondong-bondong pergi ke kota besar untuk mengemis.

Selain di Pragaan, di Madura juga ada satu lagi kampung pengemis yang ada di Kabupaten Pamekasan. Menurut cerita warga sekitar, kegiatan mengemis itu sebetulnya tak serta-merta ada di desa mereka. Sekitar tahun 1960-an, desa tersebut dilanda hama tikus yang menyerang tanaman. Tak tanggung-tanggung, pakaian dan bayi pun ikut digigit oleh tikus. Warga akhirnya terancam kelaparan akibat peristiwa tersebut.

Untuk menyambung hidup, warga sekitar kemudian pergi ke desa lain untuk mengemis singkong atau menukar garam dengan bahan makanan lainnya. Sejak itu tiga dusun di Kabupaten Pamekasan tersebut, yakni Dusun Pelanggaran Desa Branta Tinggi, Dusun Pandan Desa Panglegur dan Dusun Asem Manis Kecamatan Larangan Tokol dikenal sebagai kampung pengemis.

Desa Grinting yang terletak di Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, selama ini dikenal sebagai kampung pengemis. Ini karena warga sekitar diketahui banyak yang bekerja sebagai pengemis di kota-kota besar, seperti Bandung, Jakarta, dan masih banyak lagi.

Saat berkunjung ke desa ini, Kamu mungkin akan kaget karena ada beberapa rumah mewah nan megah, yang ternyata diakui dimiliki oleh mereka yang bekerja sebagai pengemis. Namun, wartawan mengaku cukup kesulitan untuk mengorek informasi dari warga sekitar terkait profesi pengemis tersebut.

Kampung Kebanyakan di Kelurahan Sukawana, Kecamatan Serang, sering dijuluki pula sebagai Kampung Pengemis. Akses untuk menuju kampung ini relatif mudah dan bisa diakses dengan roda dua atau empat. Tercatat ada 2.213 jiwa yang tinggal di kampung tersebut. Dan dari 525 KK yang tercatat, ada 76 KK yang dikatakan berprofesi sebagai pengemis.

Menurut pengakuan warga, tradisi mengemis di kampung mereka sudah dimulai sejak tahun 90-an. Warga yang menggeluti profesi sebagai pengemis di kampung ini biasanya menyasar daerah di luar Serang, seperti misalnya dermaga Pelabuhan Merak Cilegon atau kawasan industri Tangerang Raya.

Inilah alasannya kenapa hari ini masyarakat kebanyakan ogah memberikan sedekah kepada pengemis. Bukan karena apa, tapi ternyata mengemis dijadikan semacam profesi. Bahkan kalau memandang beberapa tempat di atas, ada pengemis yang sampai bisa bangun rumah mewah. Lebih selektif saja ketika memutuskan untuk memberikan sumbangan kepada pengemis.

sumber: https://www.boombastis.com/desa-pengemis-di-indonesia/83186

Pengakuan PSK Rumahan di Subang: Frustrasi Berujung Lembah Prostitusi

Berbicara mengenai prostitusi seolah tak ada habisnya. Tak melulu ditemui di kota-kota besar, aktivitas prostitusi juga banyak terjadi di wilayah pedesaan. 


Sebuah desa di Kabupaten Subang, Jawa Barat, ini misalnya. Sejak puluhan tahun yang lalu, desa yang dikenal sebagai ‘Kampung Cinta’ ini sudah akrab dengan prostitusi. Meski berada jauh dari pusat kota, desa ini bak ‘bunga cantik’ yang mampu memikat banyak kumbang. 

‘Fasilitas’ prostitusi yang ditawarkan di desa itu juga cukup menggiurkan, mulai dari tarif yang murah, perempuan muda nan cantik, hingga para gadis yang rela menjual keperawanan demi uang.

Ironisnya, bisnis hitam ini bukan dilakukan di lokalisasi, tetapi di rumah-rumah warga. Bahkan ada yang membuka usaha di rumah sendiri dengan izin orang tua.

kumparan menelusuri desa tersebut untuk melihat lebih dalam soal keberadaan kegiatan prostitusi rumahan itu. Butuh waktu sekitar 2 jam dari pusat kota Subang untuk sampai ke desa yang dituju.

Saat memasuki desa, hamparan sawah yang luas memanjakan mata. Warga-warga bercengkrama di teras rumah mereka. Hembusan angin dan udara yang terasa begitu sejuk, suasana asli pedesaan.

Bila dilihat sekilas memang tidak terlihat kegiatan prostitusi di sana, yang ada hanya deretan rumah-rumah warga dan warung yang menjual bahan kebutuhan pokok. 

Untuk mengetahui bisnis prostitusi rumahan ini, kumparan bertanya pada sejumlah warga, namun jawaban yang diberikan kurang memuaskan. Mereka sedikit tertutup jika ditanya soal prostitusi. Mungkin karena sempat ada beberapa kali razia yang dilakukan oleh pemerintah setempat.

Menjelang sore hari sekitar pukul 18.00 WIB, kumparan akhirnya berhasil mendapatkan narasumber yang bersedia dimintai keterangannya. Janji sudah disepakati untuk bertemu di sebuah rumah di desa tersebut. Namun sayangnya, perempuan berusia 19 tahun itu tak kunjung datang tanpa alasan yang jelas. 

Penelusuran pun dilanjutkan. Masih di kecamatan yang sama, akhirnya seorang narasumber bersedia diwawancara, perempuan Pekerja Seks Komersial (PSK) berusia 21 tahun. Sebut saja namanya Yayah.

Perempuan bermata sipit itu menceritakan kisahnya menjadi PSK rumahan selama 3 tahun belakangan ini, dan bagaimana kegiatan prostitusi tumbuh subur di desanya. 

Yayah terjun ke dunia hitam saat usianya masih 18 tahun. Kala itu dia belum lama cerai dari suaminya. 

Menurut pengakuan Yayah, suaminya adalah pacarnya yang tega memperkosanya. Setelah peristiwa perkosaan itu, keduanya lalu dinikahkan. Sejak awal menikah, suaminya selalu kasar dan main tangan. Biduk rumah tangganya pun hanya bertahan 6 bulan dan keduanya bercerai. 

Cobaan tak berhenti di situ, kematian ibunda di tahun yang sama, membuat hidup Yayah semakin sulit. 

“Ya biasa main sama teman-teman ditawari begituan (jadi PSK) , karena frustasi ditinggal orang tua, disakiti mantan suami ya akhirnya berani nakal,” kata Yayah membuka percakapan, Kamis (16/8), di sebuah kamar, di rumah warga di Subang. 

Usia yang relatif muda membuat Yayah mudah mendapatkan pelanggan. Dalam sehari ia mengaku bisa menerima 2 hingga 3 pelanggan, meski akhir-akhir ini ia mengaku sudah jarang menjajakan diri. 

Palanggan Yayah bukan hanya berasal dari Subang, tetapi juga dari berbagai daerah baik desa maupun kota. 

“Dari Subang, dari Jakarta, dari Pemanukan, banyak sih dari mana-mana," ungkapnya. 

Untuk menghubungkan para pelanggan, Yayah menyebut ada peran muncikari yang mendapat komisi dari setiap transaksi. Untuk tarif yang dipatok Yayah mulai dari Rp 500 ribu hingga jutaan rupiah. 

“Aku dapat tamu itu ditelepon, katanya sini ada tamu gitu kan aku datang, pas aku datang lalu udah beres si tamu ngasih Rp 500 (ribu), aku ngasi Rp 100 (ribu) sama si muncikari," ungkapnya. 

Praktik Prostitusi di Rumah dan ‘Izin’ Orang Tua 

Tak seperti kegiatan prostitusi biasanya yang terlokalisasi, atau disediakan di tempat hiburan, praktik haram di desa ini dilakukan di rumah-rumah warga. 

Pelanggan yang ingin mencari hiburan akan diantar ke rumah warga oleh seorang ‘pemandu’. Tidak sembarang orang bisa diterima di rumah itu, biasanya antar pemandu dan pemilik rumah sudah saling kenal. 

Setelah berbincang-bincang dan menyampaikan tujuan, si pemilik rumah akan memanggil para ‘bebek’. Di kampung ini para PSK biasa disebut ‘bebek’. 

Bebek-bebek ini ada yang diorganisir oleh muncikari, tetapi ada juga yang ‘mandiri’. Untuk ‘bebek’ mandiri biasanya membuka jasa di rumah sendiri dan atas pengetahuan orang tua mereka. Bahkan ada yang memakai kamar orang tuanya untuk melakukan kegiatan prostitusi. 

Yayah merupakan ‘bebek’ yang dikoordinasi oleh muncikari. Dia akan datang bila mendapat panggilan dan melakukan prostitusi di rumah si muncikari. 

Menurut Yayah, kegiatan prostitusi rumahan di desanya sudah jadi hal biasa dan berlangsung sejak lama. 

"Ya kadang kalau mucikarinya nempati di rumahnya, kadang kalau dianya ngajak ke rumah tempat yang lain ya di rumah yang lain gitu," ujarnya. 

Pekerjaan Yayah sudah diketahui oleh ayahnya. Meski begitu, ayah Yayah tak keberatan anaknya bekerja sebagai PSK. Alasannya lagi-lagi karena faktor ekonomi. Sang ayah hanya berpesan agar Yayah selalu memperhatikan kesehatannya, jangan sampai terjangkit HIV/AIDS. 

“Nggak papa asal bisa jaga diri, jaga kesehatan gitu aja dia (pesan ayah),” katanya. 

Soal pelanggan, Yayah mengaku sudah ribuan lelaki yang dilayani, jumlah pastinya dia tidak ingat. Dia hanya mengkalkulasi jumlah pelanggan harian yang mencapai 2 hingga 3 orang dan dikalikan selama 3 tahun dia menjadi PSK. 

“Ya banyaklah kalau diitungkan aku sudah mulai tahun 2016 sekarang 2018,” katanya. 

Para pelanggannya juga beragam profesi. Tak hanya masyarakat kelas biasa tetapi juga dari kalangan pejabat. Untuk kelas pejabat, Yayah mengaku dapat bayaran hingga jutaan rupiah. 

"Pernah ada polisi aku pernah. Ada tentara bahkan aku nggak papa ya aku cerita, aku sama anggota DPR pernah," katanya sembari tersipu malu.

Maraknya prostitusi berbanding lurus dengan jumlah pengidap HIV/AIDS di sana. Para korban umumnya masih dalam usia produktif hingga anak-anak, yang tertular dari orang tuanya saat dia masih di kandungan. Yayah mengaku pernah menjalani tes dan hasilnya negatif, meski begitu bayang-bayang virus maut itu tetap menghantui hari-harinya. 

“Aku pilih-pilih sama tamu. Aku juga sering konsultasi sama kesehatan pergi ke dokter gitu periksa badan jadi nggak (jorok) aku mah,” kata Yayah menutup obrolan. 

sumber: https://kumparan.com 

PSK di Subang Jual Diri di Rumah Sendiri, Diketahui Keluarga

Di Subang, Jawa Barat, ada kampung yang sebagian warganya menjalankan praktik prostitusi. Para pekerja seks menjajakan diri di rumah-rumah warga, bahkan ada yang menjual jasa di rumah sendiri. Bukan hanya perempuan, pelakunya juga para pemuda yang melayani pelanggan homoseksual.

Mereka yang dikenal dengan sebutan ‘bebek’ itu menunggu pelanggan yang datang ke rumah. Tawar menawar yang dilakukan juga diketahui oleh orang tua, bahkan ada orang tua yang sengaja menjual anaknya demi mendapatkan uang. 

Selain ‘bebek’ yang berjualan di rumah sendiri, ada juga ‘bebek’ yang diorganisir oleh muncikari, dan memberikan jasanya di rumah si muncikari.

“Bapak aku tahu pas aku dua tiga bulananlah (jadi PSK). Aku sendiri kok yang bilang,” kata Yayah, perempuan yang sudah 3 tahun menjadi PSK.

Menurutnya, semula orang tua melarang. Tapi alasan faktor kebutuhan ekonomi yang harus dipenuhi tak bisa ditawar lagi. 

“Bukan berarti Bapak nggak ngelarang, Bapak sebenarnya nggak mau katanya kami nakal, cuma ya gimana itu kan udah kemauan kamu yang penting kamu jaga diri aja, gitu doang,” ucap Yayah saat ditemui kumparan di salah satu rumah warga di Subang, Kamis (14/8).

Selain karena ekonomi, mereka membuka jasa prostitusi di rumah karena faktor keamanan. Hal itu diungkapkan oleh Program Manager IMS HIV/AIDS Dinas Kesehatan Kabupaten Subang, Suwata, yang bertugas memberikan penyuluhan kepada warga.

“Dia bilang lebih aman di sini daripada di lokalisasi, di hotel bisa saja kena razia,” kata Suwata saat ditemui di kantornya.

Suwata mengungkapkan bila dilihat dari data Dinkes, para pelaku prostitusi memang warga asli Subang. Sedari kecil mereka hidup dalam lingkaran hitam, atau bisa dibilang seperti prostitusi turun temurun yang diwariskan dari para orang tua kepada anaknya.

Akar masalah yang menyebabkan beberapa warga Subang memilih terlibat dalam dunia hitam prostitusi juga beragam. Misalnya faktor ekonomi. 

Kondisi ekonomi yang lemah membuat mereka memilih jalur instan sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) untuk lepas dari jerat kemiskinan. Faktor pendukung lainnya adalah kualitas pendidikan masyarakat yang masih rendah. 

“Kebanyakan dari mereka yang sekarang berada di bahasa saya, 'home industry' itu karena memang dari sisi latar belakang pendidikan juga cukup minim, kemudian juga latar belakang ekonomi masih di bawah sehingga sepertinya mereka tidak punya pilihan lain,” jelas Suwata

Terlebih lagi, realitas yang ada menunjukkan upah dengan menjadi PSK semalam kadang kala bisa menutup UMR Kabupaten Subang sebulan. Misalnya saja berdasarkan pengakuan Yayah, dia bisa melayani 2 hingga 3 pelanggan dalam sehari dengan bayaran Rp 500 ribu. Bila dikalikan 30 hari maka total uang yang diterima bisa mencapai 15 juta rupiah. Angka itu jauh lebih tinggi daripada kerja pabrik yang digaji bulanan tidak sampai Rp 2 juta. 

Bukan dianggap masalah
Prostitusi di Subang yang terkesan kadung dibiarkan ini nyatanya bukan dianggap sebagai masalah berarti. Apa yang dilakukan bukanlah masalah sosial apalagi masalah moral, semua orang menerima dan menganggapnya sebagai hal yang lumrah. 

“Kalau saya bilang budaya bukan budaya ya, tapi sudah menjadi hal yang lumrah. Kemudian masyarakat sepertinya menerima karena memang kalau berdasarkan informasi yang kami dapat dari tokoh yang ada di sana bahwa perilaku prostitusi rumahan di sana sudah berlangsung cukup lama,” jelas Suwata. 

Apalagi, dewasa kini kebutuhan masyarakat semakin meningkat, semisal komunikasi dan transportasi. Butuh modal yang tak sedikit untuk memenuhi semua kebutuhan itu.

“Tapi itu tadi terbiasa mendapat uang dengan mudah akhirnya menjadi suatu gaya hidup yang itu mereka berlanjut sampai hari ini,” ucap Suwata. 

Ancaman HIV 
Terus hidup dalam aktivitas “kotor” nyata membawa malapetaka bernama HIV. Sekitar 1.766 kasus HIV terjadi di Subang hingga bulan Juni 2018 kemarin. Dari jumlah tersebut, 90 persen yang terjangkit berasal dari usia produktif. Hal tersebut mau tidak mau menjadikan Subang sebagai daerah keempat terbesar di Jawa Barat yang terjangkit HIV. 

Suwata menjelaskan, hubungan seks bebas memang menjadi pemicu dari merebaknya HIV di Subang. Dalam hal ini, hubungan seks dijabarkan Suwata menjadi tiga. 

Pertama hubungan laki-laki dengan perempuan (heteroseks), kemudian laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan (homoseksual atau lesbian), atau biseks, bisa ke laki-laki dan perempuan. 

“(Dari itu) 80 persen hubungan seks heteroseksual kemudian yang kedua homoseks, kemudian ketiga dari ibu (menular) ke anak,” papar Suwata.

Menanggapi permasalahan tersebut, pemerintah Subang tak berdiam diri. Upaya penanggulangan multisektor dilakukan demi mencegah bahaya epidemi. 

“Selama ini yang kita lakukan hanya pada wanita pekerja seks, waria, itu sebenarnya sudah tidak ada masalah. Karena ada LSM penjangkau populasi,” ungkap Suwata. 

Kendati demikian ada PR besar tetap menanti pemerintah Subang. Masih ada laki-laki pengguna PSK dan para suami yang ditinggal istri bekerja. Mereka adalah pihak yang rentan terjangkit HIV dan terkesan luput dari pengawasan selama ini. 

“Jangan menganggap HIV/AIDS adalah milik PSK, waria, karena pengguna jasa yang tidak safety penyakit itu dibawa pulang. Istrinya bisa tertular, anaknya juga bisa tertular karena bagaimana pun yang beraktivitas menularkan adalah laki-laki,” tutup Suwata. 

sumber: https://kumparan.com 

MUI Banyumas Minta Prostitusi di Baturaden di Tutup

BANYUMAS - Majelis Ulama Indonesia (Banyumas) belum lama ini memberi saran kepada Pemkab untuk menutup lokalisasi Gang Sadar. Oleh MUI, Lokalisasi yang terletak di Baturraden itu dianggap sebagai aib Kabupaten Banyumas.

"Orang kalau ke Banyumas ingatnya Baturraden, kalau ke Baturraden ingatnya Gang Sadar. Terus kesan orang terhadap tempat itu adalah prostitusi. Ini jadi aib tentunya bagi Banyumas," kata Ketua MUI Banyumas KH Khariri Shofa, Rabu (18/1/2017).

Khariri mengatakan bahwa rekomendasi itu hasil musyawarah bersama elemen masyarakat pada Desember 2017. Inti pertemuan tersebut adalah agar tempat prostitusi itu tidak beroperasional lagi.

"Akhir kesimpulan, Gang Sadar karena menyangkut perzinaan, maka lebih baik dihilangkan," katanya.

Untuk menindaklanjuti hasil musyawarah itu, MUI membuat surat rekomendasi kepada Bupati Banyumas, Ahmad Husein. MUI merasa kewenangan menutup lokalisasi ada pada Pemkab Banyumas.

Saat ini, MUI masih menunggu respon Bupati Banyumas terkait tindak lanjut surat rekomendasi itu. Ia menyampaikan, sebenarnya wacana penutupan Gang Sadar pernah mencuat. Tempat itu menurutnya momok bagi Banyumas karena lokasinya di sekitar lokawisata yang banyak dikunjungi orang dari luar daerah.

sumber: https://news.okezone.com/read/2018

Praktik Prostitusi Terbongkar, Penghuni Kalibata City Malu Sebut Tempat Tinggal

JAKARTA - Para penghuni apartemen Kalibata City, Jakarta Selatan, mendukung dan memuji langkah kepolisian serta pengelola apartemen yang kembali berhasil membongkar praktik prostitusi.

"Kami senang polisi membongkar kasus-kasus prostitusi di sini. Karena sebenarnya pelaku praktik prostitusi ini dari luar, bukan pemilik. Kami sebagai pemilik atau penghuni jadi geram," kata salah satu penghuni di Tower Flamboyan Apartemen Kalibata City, Chanies Prabowo dalam keterangan yang diterima, Minggu (12/8/2019).

Tim Subdit Renakta Ditkrimum Polda Metro Jaya menangkap 32 orang yang terkait dengan praktik prostitusi di apartemen Kalibata City. Tertangkapnya satu-persatu sindikat prostitusi di apartemen Kalibata City oleh pihak kepolisian membuat para penghuni apartemen pun merasa senang.

Penghuni berharap praktik prostitusi di tempat tinggal mereka bisa ditumpas hingga tuntas. Menurut Chanies Prabowo praktik prostitusi yang dilakukan oleh pihak luar tersebut membuat nama Kalibata City menjadi negatif.

"Ketika ada yang bertanya Kamu tinggal dimana, agak sungkan jawabnya. Karena asumsi orang terhadap Kalibata City sudah negatif duluan," tuturnya.

Hal senada diungkapkan oleh Kanis, penghuni apartemen Kalibata City lainnya. Pria yang sudah tinggal selama 10 tahun ini mengatakan bahwa para penghuni dan pengelola Kalibata City selalu berupaya membersihkan praktik-praktik menyimpang di Kalibata City. Namun selalu ada saja "pemain-pemain" baru yang mencoba mencari celah di kawasan Kalibata City.

"Nah, dengan masuknya kepolisian, apalagi dari Polda Metro Jaya, kami yakin akan membuat para mucikari dan yang lainnya itu berpikir dua kali untuk kembali masuk ke sini," katanya.

General Manajer Pengelola Kalibata City Ishak Lopung mengatakan bahwa penangkapan 32 orang terkait prostitusi ini merupakan hasil kerja sama antara para penghuni, pengelola, dan pihak Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya. Awalnya pengelola mendapat infomasi dari penghuni mengenai adanya penyalahgunaan unit apartemen sebagai tempat prostitusi. Informasi tersebut lantas diteruskan kepada pihak kepolisian.

Atas dasar informasi itu, kepolisian dan pengelola apartemen pun melakukan razia pada Kamis (2/8) pukul 22.00 WIB hingga Jumat (3/8) dinihari, dan hasilnya ada sekitar 32 orang yang terjaring.

Pada saat itu, polisi juga mengamankan seorang pria yang merupakan agen properti yang menyewakan unit apartemen secara harian beserta satu orang karyawannya.Menurut Ishak, penyalahgunaan sewa harian apartemen oleh oknum agen properti inilah yang menjadi salah satu penyebab praktik prostitusi di Kalibata City Padahal pengelola sudah melarang keras agen properti untuk menyewakan secara harian.

Larangan tersebut telah disampaikan sejak lama baik secara langsung kepada si agen properti, juga melalui spanduk besar yang dipasang di banyak titik kawasan apartemen Kalibata City.

"Tapi ada saja agen nakal yang mencari celah. Karena kami hanya mengawasi area bersama, kami tidak bisa memeriksa langsung ke unit-unit apartemen, itu area privasi pemilik unit," katanya.

Pengelola Kalibata City menegaskan bahwa akan terus melakukan razia untuk menghilangkan praktik prostitusi di tempat itu. Pengelola Kalibata City telah bekerja sama dengan Polda Metro Jaya pada Mei 2018 lalu untuk memberantas prostitusi di kawasan tersebut. "Kami akan terus berupaya bagaimana menjadikan apartemen ini menjadi tempat tinggal yang aman, nyaman dan sehat bagi penghuni," pungkas Ishak.

sumber: https://news.okezone.com/read/2018

Polres Tangerang Bongkar Jaringan Prostitusi via WA

Suara.com - Petugas Polres Kota Tangerang berhasil membongkar jaringan prostitusi melalui aplikasi pesan 'WhatsApp'. Dari pengungkapan tersebut, polisi mengamankan seorang mucikari beserta tiga wanita di Hotel Amaris yang berlokasi di Panongan, Kabupaten Tangerang, Banten, Jumat (6/4/2018).

Kasat Reskrim Polres Kota Tangerang Kompol Wiwin Setiawan menjelaskan, pihaknya mengamankan Kurniawan Beyeng alias Wawan (40) yang berperan sebagai mucikari. Tindakan ini dilakukan setelah polisi mendapatkan informasi sepak terjang pelaku.

"Ini tindak lanjut dari informasi masyarakat, dan kami mendapati adanya percakapan transaksi perdagangan manusia di aplikasi handphone milik Wawan," terang Wiwin.

Selain menyita telepon seluler tersangka, polisi juga mengamankan sejumlah barang bukti berupa, uang Rp 1,8 juta, dua pack kondom dan bukti pembayaran kamar hotel.

"Selain percakapan via WhatsApp, kami juga amankan dua kondom bekas pakai berikut barang bukti lainnya,” kata Kasat Reskrim.

Dalam menjalankan bisnis lendir nya, pelaku mematok harga sebesar Rp 500 ribu untuk sekali kencan. Dimana sang mucikari mendapatkan keuntungan dari tiap tetesan keringat anak buahnya sebesar Rp 200 ribu.

"Dalam hal ini korban (pekerja seks) menerima Rp 300 ribu dan sisanya merupakan bagian mucikari," kata Wiwin.

Kepada penyidik, Wawan mengaku tengah memperdagangkan 3 wanita yang berprofesi sebagai chapter salon. Para wanita itu, kata Kasat, sebagai korban perdagangan manusia. Mereka saat ini tengah dimintai keterangan sebagai saksi.

“Ketiganya berstatus korban dan tengah dimintai keterangan oleh penyidik,” tutup Wiwin.

Akibat perbuatannya, polisi menjerat pria berkepala pelontos itu dengan Pasal 10 atau Pasal 12 Undang-undang RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan ancaman kurungan maksimal 15 tahun penjara. 

Sumber: 
www.suara.com/news/2018/04/07/051900/polres-tangerang-bongkar-jaringan-prostitusi-via-wa

Minggu, 16 September 2018

Faktor yang Mempengaruhi Jalannya Proses Perubahan

1. Faktor yang mendorong jalannya proses perubahan
a. Kontak dengan kebudayaan lain
b. Sistem pendidikan formal yang maju
c. Sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan untuk maju
d. Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang (deviation), yang bukan merupakan delik
e. Sistem pelapisan masyarakat yang terbuka
f. Penduduk yang heterogen
g. Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu
h.Orientasi ke masa depan
i. Nilai bahwa manusia harus senantiasa berihtiar untuk memperbaiki hidupnya

2. Faktor yang menghambat terjadinya perubahan
a. Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain
b. Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat
c. Sikap masyarakat yang sangat tradisional
d. Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat atau vested interests.
e. Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan
f. Prasangka terhadap hal-hal baru atau asing atau sikap yang tertutup
g. Hambatan-hambatan yang bersifat ideologis
h. Adat atau kebiasaan
i. Nilai bahwa hidup ini pada hakikatnya buruk dan tidak mungkin diperbaiki

Dinamika Kelompok Sosial

Dinamika kelompok sosial merupakan analisis hubungan kelompok-kelompok sosial dimana tingkah laku dalam kelompok adalah hasil interaksi yang dinamis antara individu-individu dalam situasi sosial tertentu. 
Dinamika kelompok sosial adalah proses perubahan dan perkembangan akibat adanya interaksi dan interdependensi, baik antaranggota kelompok maupun antara anggota suatu kelompok dengan kelompok lain.
Menurut Ruth Benedict, pokok persoalan (aspek) yang dikaji dalam dinamika kelompok sosial antara lain:
1. Kohesi atau persatuan
2. Motif atau dorongan
3. Struktur 
4. Pimpinan
5. Perkembangan kelompok

Faktor Pendorong Dinamika Kelompok Sosial, yaitu:
1. Faktor pendorong dari luar kelompok (Extern)
a. Perubahan situasi sosial
b. Perubahan situasi ekonomi
c. Perubahan situasi politik

2. Faktor pendorong dari dalam kelompok (Intern)
a. Adanya konflik antaranggota kelompok
b. Adanya perbedaan kepentingan
c. Adanya perbedaan paham

Proses Perkembangan Berbagai Kelompok Sosial, 
1. Kelompok kekerabatan
2. Kelompok okupasional
3. Kelompok volunter
4. Masyarakat pedesaan (Rural Community)
5. Masyarakat perkotaan (Urban Community)

Jumat, 14 September 2018

Susulan XI IPS 1&2

1. Ikutilah kegiatan yang diadakan oleh Smada hari sabtu 15 September 2018
2. Ceritakan apa yang Anda amati (yang nampak oleh penglihatan) dan rasakan (yang berkaitan dengan suasana, kenyamanan, feel, dsb) serta uraikan kegiatan yang dilakukan oleh warga Smada
3. Ceritakan tentang bagaimana keadaan lingkungan dan masyarakat yang Anda temui
4. Paparkan pesan dan kesan yang Anda peroleh dari kegiatan tersebut
5. Silakan laporkan karya Anda pada hari Sabtu 15 September 2018

>>Selamat berkarya<<


Kamis, 13 September 2018

Persamaan dan Perbedaan Modernisasi, Westernisasi, Sekulerisasi

1) Persamaan
a. Sama-sama mempunyai kepentingan soal keduniaan
b. Sama-sama merupakan suatu proses perubahan dari suatu yang dianggap kurang menjadi sesuatu yang lebih bagi penganutnya
c. Sama-sama mempunyai unsur-unsur dari negara-negara barat.
d. Sama-sama merupakan hasil perbandingan dari aspek-aspek kehidupan manusia yang di rasionalisasikan.

2) Perbedaan
a. Modernisasi
1. Tidak mutlak sebagai westernisasi atau sekulerisasi
2. Tidak mempersoalkan nilai-nilai keagamaan
3. Proses perkembangan bersifat lebih umum daripada westernisasi atau sekulerisasi
4. Modernisasi mutlak bagi setiap negara

b. Westernisasi
1. Mutlak pembaratan
2. Menurut Schoorl bahwa paham westernisasi semua bentuk kehidupan akan sama. Artinya, westernisasi itu ada karena perkembangan masyarakat modern itu terjadi di dalam kebudayaan barat dan disajikan dalam bentuk barat, sedangkan bentuk barat itu sering dipandang sebagai satu-satunya kemungkinan yang ada
3. Tidak mempersoalkan atau tidak mempertentangkan kebudayaan barat dengan kebudayaan negara sendiri

c. Sekulerisasi
1. Berorientasi semata-mata kepada masalah keduniaan
2. Tidak mengakui nilai-nilai keagamaan

Senin, 10 September 2018

Kamuflase 😁

Ketika seseorang sedang ada perasaan istimewa kepada sesamanya maka berbagai trik dilancarkan untuk melegalkan langkahnya.
Meskipun terhalang oleh dinding maka ia akan melakukan daya dan upaya untuk melampauinya.
Seperti yang sering dikatakan orang "laut kan ku seberangi, gunung kan ku daki". Mungkin inilah bukti untuk menyatakan keseriusan seseorang kepada yang dicintainya.
Dan ketika orang lain mencium gelagatnya, maka ia akan mengatakan "tidak", "tidak ada apa-apa", "kami biasa saja kok", "kami hanya mengobrol biasa kok", de es te.
Tak hanya pria, perempuan pun bisa melakukannya.
Demikianlah orang selalu berusaha melegalkan apa yang sedang dilakukannya.
Itulah orang yang dikaruniai otak untuk selalu berpikir, mengolah berbagai fakta (sekali lagi) untuk melegalkan usahanya.

Sabtu, 08 September 2018

Kelompok Sosial Menurut Cooley dan Farris

Menurut Cooley, dilihat dari kualitas hubungan antaranggota dapat dibedakan menjadi kelompok primer dan sekunder. 
a. Kelompok primer, merupakan suatu kelompok yang berhubungan antaranggotanya saling mengenal dan bersifat informal
b. Kelompok sekunder, merupakan suatu kelompok yang hubungan antaranggotanya bersifat formal, impersonal, dan didasarkan pada asas manfaat

Tabel Perbedaan Kelompok Primer dan Sekunder
No Perbedaan Kelompok Primer Kelompok Sekunder
1Jumlah anggota Relatif kecil Relatif besar
2Pola hubungan Pribadi, akrab, informal Impersonal, formal
3Komunikasi Dilakukan langsung secara tatap muka Sedikit sekali komunikasi degan tatap muka
4 Sifat hubungan Permanen, para anggota berada bersama dalam waktu relatif lama Bersifat temporer kebersamaan para anggota dalam waktu relatif singkat
5 Keputusan kelompok Lebih bersifat tradisional Lebih rasional dan menekankan pada efisiensi kerja

Kelompok Sosial Menurut Ferdinand Tonnies

Menurut Ferdinand Tonnies, kelompok sosial berdasarkan erat longgarnya ikatan antaranggota dibagi menjadi Gemeinschaft dan Gesellschaft.
a. Gemeinschaft (paguyuban) merupakan kelompok sosial yang aggota-anggotanya memiliki ikatan batin yang murni, bersifat alamiah, dan kekal.
b. Gesellschaft (patembayan) merupakan ikatan lahir yang bersifat pokok untuk waktu yang pendek, strukturnya bersifat mekanis dan bersifat sebagai suatu bentuk dalam pikiran belaka. 

Tabel Gemeinschaft dan Gesellschaft

No Gemeinschaf Gesellschaft
1 Personal/Pribadi Impersonal
2Informal Formal, kontraktual
3Tradisional Nilai guna (utilitarian)
4 Sentimental Realitas
5 Umum Khusus



Kelas XI IPS 2

1. Silakan amati masyarakat sekitar tempat tinggal Anda
2. Ceritakan tentang bagaimana keadaan lingkungan dan masyarakat yang Anda temui
3. Ceritakan tentang berbagai organisasi apa saja yang ada di masyarakat tersebut
4. Ceritakan tentang kegiatan apa yang mereka lakukan dan tanyakan alasan atau tujuan mereka melakukannya
5. Paparkan pesan dan kesan terhadap masyarakat Anda
6. Silakan laporkan karya Anda pada hari Senin

>>Selamat berkarya<<

Jumat, 07 September 2018

Tentang Photo dan Follow

 
Dokumen Pribadi, diambil tanggal 24 Agustus 2018
Iseng. Mungkin kata itu yang tepat untuk menggambarkan kelakuanku saat ituπŸ˜€
Kenapa iseng? Sebab orang lagi asik-asik (serius, tepatnya) malah saya 'ambil' dan edit.
Awalnya seperti ini. Dihari yang sudah disepakati, kami melaksanakan ulangan sebagai syarat untuk dan sebagai jeda di waktu-waktu pertemuan. Karena suasana ulangan adalah suasana yang amat membosankan, maka saya pun serta merta mengambil hp dari peraduannya.

Sambil berakting sebagai pengawas saya pun muter-muter seluruh ruangan. Padahal apa yang saya lakukan hanyalah sebagai pengisi waktu menunggu. Ya, menunggu mereka yang lagi asyik menikmati 'menu' dan menuliskan 'resep'😁
Bak kucing yang menemukan ikan asin, ditambah gratis lagi, langsung saja saya ngeshoot dia yang lagi asyik. Dan untung saja yang bersangkutan tak begitu menghiraukan keberadaanku dan apa yang saya lakukan. Kata orang layaknya hidden camera, gitu kira-kira.
Saya pun tidak hanya diam disitu, setelah saya jepret jari ini langsung ngetuk menu edit photo yang lusa kemarin berhasil saya download.
Setelah sok-sokan mengedit dengan metode yang jauh dari standar minimal, sejurus kemudian saya upload ke ig. Tak menunggu lama saya pun langsung umumkan ke para hadirin atau audience. Dan apa tanggapan mereka?? Kata mereka ini adalah strategi saya untuk menambah follower. Dan langsung ngakak, sebenarnya bukan itu yang ingin saya munculkan tapi hanya pengen ber'difusi'. Selain itu, pengen memberi pengertian bahwa sosmed bukan hanya bisa untuk selfie, hanya sekadar memajang photo bareng 'pasangan' yang belum jelas, sekadar update tempat terbaru dan tempat terernus, bukan sekadar memfoto orang cantik atau ganteng dengan pakaian yang wah dan jauh dari ketimuran. Tetapi medsos juga bisa digunakan untuk menyuarakan tentang hal lain misalnya keindahan alam, pekerjaan/profesi orang, serta kehidupan orang-orang disekitar kita.

Tanggapan berikutnya tentang foto itu adalah "bagus bokehnya". Nah, dari tanggapan ini saya mendapatkan ilmu baru (terutama bagi saya) yaitu tentang istilah bokeh. Setelah saya tanyakan perihal kata itu, do'i pun menjawab bahwa bokeh adalah istilah ngeblur.
Catatan: pengalaman dengan teman-teman XII IPS 3.

Rabu, 05 September 2018

Perubahan Sosial Evolusi dan Revolusi (ciri evolusi dan revolusi)

Berbagai perubahan sosial yang terjadi di masyarakat dapat diamati secara langsung dengan mata telanjang. Pada intinya suatu perubahan sosial yaitu adanya perbedaan antara sebelum dan sesudah pada waktu seseorang mengamati. Mengenai berapa lamanya waktu pengamatan yang dilakukan seseorang, menurut para ahli belum ada yang memberi patokan secara pasti. Namun, demikian tentunya tidak 'baik' ketika melihat perubahan dalam masyarakat hanya dalam hitungan detik atau pun menit.
Terdapat beberapa perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat, berikut disajikan beberapa ciri dari perubahan sosial evolusi dan revolusi yaitu:

Ciri-ciri perubahan sosial evolusi:
1. Tidak menimbulkan gejolak dalam masyarakat
2.  Perubahan bersifat menyempurnakan dari hal-hal yang dirasa kurang baik
3.  Keseimbangan system dalam masyarakat tetap terjaga
4.  Perubahan bersifat lambat
5.  Tidak melalui perencanaan yang matang

Ciri-ciri perubahan sosial revolusi:
1. Esensi perubahan bersifat mendasar
2. Ada suatu perencanaan dan perubahan berlangsung secara cepat
3. Biasanya perubahan terjadi dalam struktur pemerintahan
4. Masyarakat mengalami gejolak atau ketidakpastian

Selasa, 04 September 2018

Globalisasi

Faktor pendukung globalisasi:
1. Berkembang pesatnya teknologi komunikasi
2. Adanya integrasi ekonomi dunia

Dampak positif globalisasi:
1. Masyarakat bersikap kritis terhadap permasalahan aktual yang menyangkut masalah budaya
2. Memperkaya unsur-unsur budaya Indonesia
3. Wawasan masyarakat semakin luas
4. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang melahirkan berbagai industri

Dampak negatif globalisasi:
1. Guncangan budaya (cultural shock)
2. Ketertinggalan budaya (cultural lag)
3. Memperkecil unsur-unsur kebudayaan asli, karena ada desakan budaya asing
4. Konsumerisme
5. Westernisasi (kebarat-baratan)
6. Sekulerisasi
7. Hedonisme

Sumber:
Dari berbagai sumber bacaan